Sunday 21 October 2012

sebuah lagu tanpa suara


Telah lama tak di sini
Terasa beribu masa
Menatap sendiri
Tanpa dirimu

Ingatkah suara itu?
Saat kau memanggilku
Mengawali semua kisah kita

Ingatkah cerita itu?
Ketika ku di sampingmu
Dan tersenyum setiap waktu

Perjalanan ini masihlah jauh
Masih banyak yang harus dipertaruhkan
Meski kita tak tahu akan bagaimana
Tetapi hatiku selalu ada untukmu

Di mana suara itu?
Di mana cerita itu?
Yang dulu selalu temaniku

Adakah suara itu?
Adakah cerita itu?
Bersamaku selamanya

Saturday 6 October 2012

saturday ray

20 November


malam ini adalah malam bulan empat belas, aku menyempatkan untuk sejenak memandangi makhluk cantik itu. rembulan tanggal empat belas.

bulan, tetap saja wajahmu syahdu, tiada pernah berkurang dari waktu-kewaktu. selalu, memesonaku untuk setia menatapmu. menawan, menyandu untuk selalu ingat dan kembali menatapmu. menanti senja, menanti saat yang semakin dekat untuk bersamamu.

entah sejak kapan aku menyukai rembulan. ketika aku kecil, ketika malam hari terkadang aku memperhatikannya, sambil duduk, berdiri, berjalan. ketika berjalan dan aku terus memandanginya, ia seakan terus mengikutiku. aku berlari, dan rembulan itu tak kunjung menjauh. seakan turut berlari pula mengejarku. akupun berhenti kelelahan.

bulan, kenapa engkau terus mengikutiku?

sebuah tanya yang kemudian kuketahui jawabannya ketika mendapat pelajaran ilmu alam di sekolah dasar. "gerak semu harian" begitu kata Bu Kus, guru spesialis ilmu alam di sekolahku. aku mengangguk-angguk seakan paham waktu itu. berkata dalam hati "ya aku mengerti Bu."
kisah bersama rembulan tak berhenti sampai di situ. walau aku tahu bahwa ternyata rembulan tidak hanya mengikutiku seorang. ternyata ia mengikuti siapa saja, bahkan ia dapat mengikuti banyak orang dalam waktu yang bersamaan, dengan atau tanpa disadari. aku juga menemukan fakta bahwa tidak sedikit orang yang menyadari akan eksistensi makhluk cantik itu dalam kehidupan kesehariannya. ketika pelajaran bahasa, ternyata ada banyak peribahasa yang menganalogikan "rembulan" sebagai padanan untuk kecantikan. coba tengok kembali buku peribahasa, banyak peribahasa yang menggunakan "rembulan" sebagai perumpamaan. ternyata rembulan telah menarik perhatian manusia sejak dahulu kala!

semakin lama, semakin aku mengetahui bahwa pada rembulan tersimpan ilmu pengetahuan yang tak terkira. bahkan mukjizat yang pernah ada.

bagiku, menatap rembulan adalah hal yang istimewa. ada perasaan yang tak biasa. ketika kita sedih, ketika bahagia, ketika kita diam, atau bertanya, memandanginya. seakan ia dapat memahami. hanya memandanginya dengan setulus yang kita mampu . ia seakan mampu berbicara melalui cahayanya. ia adalah kebaikan yang nyata, yang dapat dinikmati semua manusia dengan cuma-cuma. setidaknya aku dapat merasakan kebahagiaan itu.

aku senang, sungguh senang diperkenalkan kepadamu, wahai cahaya redup yang menerangi gelap semesta.

perjalanan bersama sang rembulan terus berlanjut. aku menemui beberapa orang pecinta rembulan. tentu dengan kisah mereka yang istimewa. ada sebuah kisah yang menarik sekali untuk diceritakan. tentang seseorang yang begitu syahdu ketika menatap rembulan, seseorang itu bernama Ray...

"Sama seperti dulu, meski hatinya marah, meski hatinya mengutuk langit berkali-kali, Ray tetap terpesona menatap rembulan di langit. Merasa damai dengan sepotong ciptaan Tuhan yang seolah-olah digantungkan begitu saja itu. Malam-malam sepi di selasar atap tampias Panti... Malam-malam sendiri di atap genting Rumah Singgah. Malam-malam senyap di atas tower air. Di lantai 18 konstruksi gedung. Malam-malam itu meski amat bencinya dia dengan keputusan Tuhan, amat marahnya dengan segala takdir, sepotong rembulan di atas selalu membuatnya berterima-kasih.
 Mungkin itu gunanya Tuhan menciptakan rembulan terlihat indah dari bumi. Menjadi penghiburan bagi hati yang resah menatapnya."
(rembulan tenggelam di wajahmu)

bahkan aku tak mampu menyaingi betapa syahdunya Ray ketika menatap rembulan. rembulan terus berjalan bersama jejak langkah kita, esok-lusa, mungkin kita akan menemui kisah-kisah hebat lain bersamanya. memetik pelajaran-pelajaran yang berharga. rembulan, sungguh betapa Maha Suci Pencipta mu.

apalah arti malam tanpa rembulan, sinarnya bukti keagungan Tuhan. keniscayaan yang penuh hikmah. sang pengawal para makhluk penembus malam, dengan cahaya ajaibnya.

lihatlah, betapa syahdunya ia, membuat siapa saja menitikkan air mata, bila berlama-lama menatapnya. air mata bahagia.

Wednesday 18 July 2012

titik temu


bayangkan, kita sedang menuju ke suatu tempat. kita melewati sebuah tangga. sebuah tangga yang menuju ke atas. kita melangkah, menaiki satu demi satu anak tangga. sepuluh anak tangga pertama begitu bersemangat. lima puluh anak tangga, kita mulai terengah-engah. seratus anak tangga, hampir kehabisan tenaga. lima ratus anak tangga, kita benar-benar telah lemas. tetapi lihatlah dua langkah di depan ada sebuah pintu bertabir. kita tidak tahu apakah di sana adalah titik tujuan kita? ataukah di sana ada ratusan anak tangga lain yang harus ditapaki? sementara dahaga telah menyandu begitu hebatnya. terasa kering sekali tenggorokan kita. seakan terdapat padang pasir di dalam-nya, yang teramat kering dan gersang. ah, sungguh dahaga sekali.

diantara dua langkah menuju pintu bertabir itu adalah sebuah jurang. tebingnya berupa rerumputan, dasarnya berupa air yang mengalir tenang. nampak begitu menyegarkan. apa yang harus kita tempuh? melompati jurang yang terlihat menarik itu dan meraih pintu bertabir? sedang kita tak tahu apakah pintu itu adalah ujung jalan ini. dimana konon tersimpan mata air bahagia. mata air yang jika kita meminumnya seteguk saja, maka niscaya kita tidak akan merasa haus hingga seribu tahun. tetapi tabir itu begitu tebal, tidak ada kepastian apa yang ada di sebaliknya. bagaimana jika dibalik tabir itu masih ada ratusan anak tangga. sedang daya yang tersisa ini tinggal sebuah gerakan lemah. jika tak ada mata air di seberang sana, tentu kita akan mati kehabisan tenaga. jika memilih untuk terjun ke jurang, tentu kita akan selamat. tenaga kita akan pulih dengan meneguk airnya.

dengan sisa tenaga terakhir, kita memilih untuk melompat ke jurang. byurr... . terasa segar sekali ketika air itu menyentuh kulit kita. tetapi saat kita meminumnya, dahaga kita tak kunjung mereda. celakalah, karena ternyata itu adalah air asin. habis sudah tenaga kita, dan perlahan kita mulai tenggelam. sejenak, tiba-tiba angin bertiup kencang. begitu kencang hingga pintu bertabir itu goyah. tabirnya tersingkap. nampak sebuah mata air yang mengalir. itukah mata air bahagia? kencangnya tiupan angin membuat mata air itu menciprat, satu tetes diantaranya jatuh ke arah jurang. dan entah mengapa tetesan itu jatuh ke dalam mulut kita. begitu ajaib efeknya, karena satu tetes saja telah setara dengan satu tahun tanpa merasa dahaga. maka seketika bangkitlah kita, tenaga kita muncul kembali. begeraklah kita, mencari jalan untuk meniti tangga itu lagi. melangkah, menaiki satu demi satu anak tangga. dan pada akhirnya kita sampai di anak tangga ke lima ratus. hei, tapi mengapa, mata air itu tak ada di seberang sana? kitapun mencari ke segala arah. hingga, ketika kita menengadah ke atas.. mata air itu terlihat di sana. dalam jarak seratus kali lipat.

Tuesday 27 March 2012

tanpa dirimu


malam itu akhirnya aku kembali lagi ke kotamu. kota yang tetap indah, setelah lama sekali rasanya tidak menjejakkan kaki di sana. ada perasaan senang, meski tak ada seorangpun yang menyambut kedatanganku, tetapi udara kota begitu akrab meresap. seakan-akan menyampaikan salam yang amat dalam hingga ke dalam dada. sejenak kemudian suasana lenggang. bus yang tadi kutumpangi telah melaju jauh. meninggalkan aku sendirian di kotamu. tiba-tiba terbersit pertanyaan: untuk apa aku ke sini? ke kota yang telah terasa lampau sekali tak aku kunjungi. kota dengan sejuta harapan, dan kenangan. entahlah, terkadang aku hanya ingin saja. mengikuti kata hati, atau mungkin sekedar mencari suasana lain. toh tidak ada yang memperhatikan, tidak akan ada yang merisaukan.

kemudian aku berjalan, menyusuri jalanan kota. lampu-lampu kota nampak teduh, menerawang, menyinari lajur pejalan kaki yang kulalui. suasana cukup ramai, ada muda-mudi yang sekedar 'nongkrong' di pinggir jalan. ada juga pedagang kaki lima yang menjajakan jualannya, melayani konsumen. atau konsumen yang jajan, entah makanan, pakaian, entah apa saja. dan juga orang yang sekedar lewat lainnya, entah apa tujuan mereka, dan pengemis. lelah juga, menyusuri jalanan, terlebih aku menggendong ransel yang berat. aku ingin segera beristirahat, tapi dimana? tiba-tiba aku ingat sebuah penginapan di pinggir kota. dulu aku sering menginap di sana. cukup jauh dari tempat aku turun dari bus tadi. akan lebih efektif dan efisien jika aku naik taksi atau angkutan umum lainnya untuk sampai ke sana. tapi akan lebih menarik jika aku berjalan kaki. sambil bernostasgia, siapa tahu bertemu kenalan, atau teman masa lalu.

nostalgia yang menyenangkan, kota ini tampak tertata semakin rapi, semakin modern. banyak gedung-gedung baru yang muncul, tetapi bangunan kuno juga tetap dipertahankan. aku dengar pemerintah kota gigih mempertahankan artefak sejarah, bangunan-bangunan yang memiliki nilai historis. tentu agar masyarakat tidak lupa akan jati dirinya, tidak lupa akan sejarahnya di masa lalu. tetapi rupanya tak ada yang bisa mencegah jika ternyata masyarakat lebih senang mengunjungi bangunan-bangunan modern. mal, cafe, klub-klub hiburan, dan sejenisnya yang terus menjamur. dan bangunan-bangunan tua hanya menjadi monumen yang sepi. saksi sejarah yang bisu, monumen-monumen itu seperti benar-benar bisu menghadapi perkembangan jaman.

tak terasa, lebih dari dua jam aku berjalan, menempuh sekitar sepuluh kilometer. melalui banyak sekali orang, tua-muda, melalui banyak keadaan, lenggang-ramai, melalui banyak gedung, kuno-modern. Menggendong tas ransel yang berat di pundakku. Yang awalnya terasa begitu berat, hingga menjadi seakan-akan terasa tak memiliki bobot. Ternyata beban beratpun ketika terbiasa kita membawanya, seiring dengan perjalanan akan menjadi ringan saja, tak terasa. Dan sampailah aku di penginapan ini, sebuah bangunan sederhana, bangunan yang terkesan kuno. aku lelah sekali, penjaga penginapan tampak masih mengenaliku, meski tak ingat siapa namaku. aku menyebutkan nama, memesan sebuah kamar dan segera beristirahat. tidur.

aku bangun pagi-pagi sekali, aku ingin bernostalgia sekali lagi. pagi-pagi sekali, aku memandang ke arah langit  timur, pada sebuah bintang yang paling terang. dialah venus, sang bintang pagi. bintang yang selalu menyambut pagi dengan sinar yang paling terang diantara bintang-bintang lainnya. Meskipun sejatinya ia bukan bintang, melainkan planet venus. Seperti planet Jupiter yang memiliki nama lain ‘bintang kejora’. planet venus memiliki sebutan 'bintang pagi', mungkin karena ia yang terlihat paling bercahaya saat pagi. Aku terus memandangi bintang pagi, hingga fajar menyingsing, hingga semburat jingga berkolorasi. Tanda matahari segera terbit. Bersama embun-embun yang meleleh. Burung-burung yang berkicau bersahut-sahutan. Sampai hangat sinar matahari terasa, menyentuh wajahku, kulitku. dan wajahku Memantulkan kembali sinar itu kepada sekitarku. Seperti venus yang juga memantulkan sinar matahari hingga aku melihatnya sebagai bintang paling terang di pagi hari. akupun juga ingin memantulkan sinar matahari pagi ini, hingga aku terlihat sebagai manusia paling bercahaya, paling terang. Menyenangkan sekali menyambut pagi seperti ini.

Usai pertunjukan pagi, aku merilekskan diri duduk diberanda sembari menyeduh teh.  Pandanganku teralihkan oleh sebuah pohon. Pohon mengkudu. Sejak dulu pohon itu menjadi panorama tersendiri buatku. Ada beberapa kupu-kupu yang riang bermain diantara daun-daunnya. Setiap pagi hingga siang. Suatu pemandangan yang elok. Rasa-rasanya ingin ikut terbang bersama kawanan kupu-kupu itu, pasti menyenangkan sekali. menjelang siang, aku masih duduk santai menikmati suasana sekitar penginapan. Banyak bunga-bunga yang tertanam, mawar, melati, anggrek,  hingga bunga matahari. sebelum akhirnya aku mengantuk, dan tertidur.

...
Seketika aku telah berada di suatu tempat yang tak ku kenal. Padang rumput membentang luas. bunga-bunga tengah bermekaran , mawar, melati, anggrek,  hingga bunga matahari. Burung-burung berkicau merdu. Matahari bersinar begitu hangat. Hangat yang menentramkan. Angin berhembus begitu menyejukkan. Tiba-tiba terdengar suara air bergemericik, terdengar seperti mengalir lembut. Entah mengapa aku riang berlari menuju suara itu. Aku berlari ke arah sebuah bukit. Terus berlari dengan riang, tanpa sedikitpun merasa lelah. Dan ketika aku sampai di puncak bukit itu, ada sebuah pemandangan yang menakjubkan. Sebuah air terjun yang begitu elok, tidak terlalu tinggi, tidak juga terlalu rendah. airnya megalir tidak terlalu deras. Ada sebuah lengkung spektrum warna yang menghiasi. Ada pelangi. Dengan sungai kecil yang dangkal dan arus yang lembut. Di kanan-kirinya tumbuh bebungaan, rerumputan. Seolah-olah merupakan tempat yang dilukis dengan sempurna untuk bermain air.  Tanpa perlu takut terseret arus. Dan kau sedang bermain di sana. Hei, bukankah kau … . kau melambaikan tangan, seolah mengajak ikut bermain. Akupun segera mendekat. Bersama-sama kita bermain air. Saling minciprat-cipratkan air. Kita bahkan bermain perosotan. Meluncur di atas Pelangi yang cantik itu, dan byur.. nyebur ke air. Tertawa. Ah, lama sekali kita tak bertemu. Tapi kini serasa tidak ada lagi jarak diantara kita. Dekat, dekat sekali. keadaan ini terasa amat sempurna, seakan-akan tak mungkin ada di dunia.
 ...

sore hari, penjaga penginapan mencoba membangunkanku, tetapi aku tak pernah membuka mataku lagi.

-Aku tidak ingin meninggalkanmu di alam yang sempurna itu. Dan meski alam itu runtuh, aku hanya ingin tetap bersamamu. Adakah arti segala keindahan jika hanya sendirian saja di dunia?  Adakah arti segala keindahan tanpa dirimu?-

Saturday 10 March 2012

Suriah memanggil kita


ada sebuah cerita..
di suatu negeri tempat para hamba-hamba terbaik hijrah..
negeri di mana malaikat membentangkan sayap-sayapnya...
negeri yang terpilih..

tapi, kini ia menangis..
raja yang lalim menguasainya..
menindas kaum tak berdosa..
merampas tanah mereka..
mengusik keyakinan mereka..

kini ia menangis..
perang berkecamuk..
anak-anak, wanita..
orang tua..
pemuda-pemuda.. 
mereka berjuang melawan penindasan..

apa yang terjadi di negeri yang terpilih?
mereka terusir di tanah mereka sendiri
mereka sakit.. mereka terluka..
tapi tidak ada pengobatan..
mereka lapar.. mereka sengsara..
tapi siapa pelipur lara? 

apa yang terjadi di negeri yang terpilih?
apa yang harus kita lakukan?

Setidaknya panjatkanlah sebaris doa untuk mereka..
Setidaknya panjatkanlah sebaris doa untuk mereka..

karena jika kelak Sang Pencipta bertanya kepada kita
“Apa yang telah engkau lakukan untuk mereka?”
bagaimanakah kita akan menjawabnya?

Setidaknya panjatkanlah sebaris doa untuk mereka..
Suriah memanggil kita..

Tuesday 6 March 2012

sekedar kisah

Dia hanya tersenyum, ketika aku tak sengaja menabraknya. Hari ini adalah hari pertama aku bekerja. Hari Rabu, pukul 07.00 di sebuah gedung tiga lantai di pinggir kota. Itu adalah balasan dari surat lamaran pekerjaan yang aku ajukan beberapa waktu lalu. Aku memutuskan untuk bekerja secara tetap. Sebelumnya aku bekerja serabutan, apa saja, yang halal dan  menghasilkan uang. Hasilnya aku pergunakan untuk melakukan perjalanan. Mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi. Hari ini terpaksa harus berlari-lari, bukan karena aku suka berolahraga, tetapi berkat ban motorku yang pecah di tengah perjalanan. Masih dua kilo lagi untuk sampai kantor, jam tanganku menunjukkan pukul enam lewat lima puluh. Sepuluh menit lagi. Aku sedikit panik. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan kerja hari ini. Aku  menuntun motorku, menitipkannya ke tempat parkir terdekat. Kemudian aku berlari. Ya, aku berlari, aku tidak memiliki ide lebih baik lagi saat itu. Dengan terburu-buru aku memasuki gang-gang kecil perkampungan, mencari jalan terdekat. Hingga ketika hampir sampai di gedung tiga lantai itu, aku tak sengaja menabrak seseorang. Tidak begitu keras, aku sempat sedikit menghindar, tapi membuat barang bawaan wanita itu jatuh berantakan. Wanita ya, aku menabrak seorang wanita. Aku segera meminta maaf dan membantu membereskan barang bawaannya. Dia tidak mengucap sepatah katapun. Dia hanya tersenyum, kemudian berlalu begitu saja. Demi memahami arti senyum itu, aku terdiam, tiga puluh detik, memandangi punggungnya yang perlahan menjauh.

Tiga puluh detik berlalu. Jam tanganku menunjukkan pukul enam lewat lima puluh delapan menit. Dua menit lagi. Gedung tiga lantai itu sudah terlihat, beberapa meter lagi. Aku berlari, dalam dua puluh lima detik aku telah memasuki gedung tiga lantai. Belum selesai. Resepsionis menyebutkan bahwa aku harus menemui seseorang di lantai tiga. Aku segan berlari, ini gedung perkantoran. Rasa-rasanya tidak etis jika berlari, aku berjalan cepat,  menuju sebuah lorong, kemudian menyusuri anak-anak tangga menuju lantai tiga. Tanpa kesulitan aku menemukan ruangan seseorang yang harus kutemui. Aku mengetuk pintu, suara dari dalam mempersilahkan masuk. Ketika aku mulai melangkahkan kaki ke dalam ruangan, seseorang yang berada di dalam ruangan lebih dulu berkata, "Anda terlambat tiga puluh detik." Aku menelan ludah.

bersambung...