Saturday 3 December 2011

[FILM] HAFALAN SHALAT DELISA

Delisa (Chantiq Schagerl) gadis kecil kebanyakan yang periang, tinggal di Lhok Nga desa kecil di pantai Aceh, mempunyai hidup yang indah. Sebagai anak bungsu dari keluarga Abi Usman (Reza Rahadian), Ayahnya bertugas di sebuah kapal tanker perusahaan minyak Internasional. Delisa sangat dekat dengan ibunya yang dia panggil Ummi (Nirina Zubir), serta ketiga kakaknya yaitu Fatimah (Ghina Salsabila), dan si kembar Aisyah (Reska Tania Apriadi) dan Zahra (Riska Tania Apriadi)

26 Desember 2004, Delisa bersama Ummi sedang bersiap menuju ujian praktek shalat ketika tiba-tiba terjadi gempa. Gempa yang cukup membuat ibu dan kakak-kakak Delisa ketakutan. Tiba-tiba tsunami menghantam, menggulung desa kecil mereka, menggulung sekolah mereka, dan menggulung tubuh kecil Delisa serta ratusan ribu lainnya di Aceh serta berbagai pelosok pantai di Asia Tenggara

Delisa berhasil diselamatkan Prajurit Smith, setelah berhari-hari pingsan di cadas bukit. Sayangnya luka parah membuat kaki kanan Delisa harus diamputasi. Penderitaan Delisa menarik iba banyak orang. Prajurit Smith sempat ingin mengadopsi Delisa bila dia sebatang kara, tapi Abi Usman berhasil menemukan Delisa. Delisa bahagia berkumpul lagi dengan ayahnya, walaupun sedih mendengar kabar ketiga kakaknya telah pergi ke surga, dan Ummi belum ketahuan ada di mana

Delisa bangkit, di tengah rasa sedih akibat kehilangan, di tengah rasa putus asa yang mendera Abi Usman dan juga orang-orang Aceh lainnya, Delisa telah menjadi malaikat kecil yang membagikan tawa di setiap kehadirannya. Walaupun terasa berat, Delisa telah mengajarkan bagaimana kesedihan bisa menjadi kekuatan untuk tetap bertahan. Walau air mata rasanya tak ingin berhenti mengalir, tapi Delisa mencoba memahami apa itu ikhlas, mengerjakan sesuatu tanpa mengharap balasan

‘Delisa cinta Ummi karena Allah’

Mulai tayang 22 Desember 2011

http://www.21cineplex.com/hafalan-shalat-delisa,movie,2674.htm

Sunday 11 September 2011

MMSPH 3: Pandangan Pertama Zalaiva

Pandangan Pertama Zalaiva

Zalaiva dengan pakaian kanak-kanaknya berjinjit pelan membawa dua butir telur ayam di genggaman tangan kanannya, sementara tangan kirinya meraba-raba selusur papan kandang. Rok bersulam kupu-kupunya terkena bercak lumpur di mana-mana, sementara pipi montok menggemaskan itu sekarang seperti muka prajurit indian, tercoreng dua saput kotoran. Entah oleh apa, bisa jadi oleh tahi ayam. Tampangnya serius sekali membawa telur-telur itu, sementara kakeknya berdiri mengamati tersenyum sambil memungut telur di rak yang lebih tinggi.

Sayang sekali sebelum ia tiba di ember besar yang diletakkan di sebelah kaki kakeknya, seekor ayam jantan entah dari mana asalnya, terbang masuk kandang. Berkotek menyergap tubuh mungil Zalaiva. Gadis kecil itu berseru kaget. Telur-telur di genggaman tangannya terlepas, terlontar entah kemana. Zalaiva untuk sepersekian detik bisa mendengar telur itu satu per satu jatuh menghantam lantai semen, seperti kalian bisa melihat tetesan air jatuh dari langit secara patah-patah. Dan telur-telur ringkih itu pecah tak karuan. Sambil menahan sakit di lututnya gadis kecil itu mencoba berdiri, matanya yang tak berbintik hitam berkaca-kaca, ia merabaraba tertatih melangkah mendekati kaki kakeknya takut-takut, sebentar lagi gadis itu pasti menangis.

Tetapi kakeknya tidak marah. Justeru duduk jongkok menyambut tubuh mungil itu. Tersenyum, menghapus buliran air mata di pipi Zalaiva, menatapnya amat bijak, kemudian memegang bahunya dengan lembut.

“Jangan dipikirkan. Hanya telur, sayang!”

Tetapi Zalaiva tetap terisak. Kakeknya sambil menghela nafas dalam-dalam, pelahan duduk selonjor di lantai lorong kandang ayam. Ia menepuknepuk bulu ayam di pakaian bidadari kecilnya, lantas mendudukkan Zalaiva di pangkuannya. Topi jerami itu ia sangkutkan sembarang tempat.

Di peternakan ini, Zalaiva hanya tinggal dengan kakekknya seorang. Tidak ada siapa-siapa lagi. Dulu pernah ramai sekali, tetapi satu persatu penghuninya pergi dengan kenangan getir dan tak pantas diingat lagi, apalagi oleh Zalaiva yang sedang tumbuh dengan segala kepolosan hidup. Rumah besar itu sekarang berdiri suram seolah-olah penuh kutukan. Tetapi Zalaiva tidak tahu dan tidak peduli. Ia punya kakek yang selalu pandai bercerita.

“Tahukah, sayang. Jika kau melemparkan sebutir telur dari atas awan, saat jatuh menimpa tanah sedikit pun telur itu takkan retak sepanjang kau punya sesuatu!” Kakeknya berbisik di telinga Zalaiva. Beginilah yang selalu ia lakukan jika Zalaiva tiba-tiba menangis sedih. Ia selalu membisikkan kisah-kisah indah, karena suatu saat ia yakin Zalaiva berhak atas manisnya kehidupan ini. Dan gadis mungil itu seperti biasa, mendongakkan kepalanya penuh rasa ingin tahu, mengerjap-ngerjapkan mata bulatnya, lantas menggeleng. Saat-saat seperti ini selalu menyenangkan baginya.
“Dan tahukah kau apakah sesuatu itu?”
Zalaiva menggeleng lagi.
“Sesuatu itu adalah cinta!”
Kakek menyebut pelahan dan penuh perasaan kata itu. Seperti menggantungnya menjadi bintang di langit-langit kandang. Zalaiva justeru berpikir tentang hal lain.
“Kalau begitu cinta itu seperti kasur, ya Kek? Yang saat Zalaiva loncat-loncat di atasnya tidak terasa sakit?”
“Bukan. Cinta itu tidak seperti kasur, sayang”
“Jadi bagaimana ia membuat telur itu tidak pecah?”
“Karena cinta itu akan memberikan sepasang sayap yang indah kepada telur itu, sayang.” Kakeknya
tersenyum sambil menciumi ubun-ubun gadis mungil itu.
“Jadi cinta itu seperti burung!”
“Ya. Seperti burung, ia akan membawamu terbang kemana saja. Membuatmu bisa memandang seluruh isi dunia dengan suka cita, bahkan terkadang kau merasa seluruh dunia ini hanya milikmu seorang.”

Gadis mungil itu ikut-ikutan mendongakkan kepala menatap kosong langit-langit kandang. Membayangkan mendengar kepak-kepak sayap burung yang sama sekali berlum pernah dilihatnya. Sepertinya itu amat menyenangkan.

“Kakek, Zalaiva ingin cinta!”

***

Kemudian, hari-hari berikutnya Zalaiva jadi sering sekali bertanya tentang cinta. Suatu pagi saat ia berlatih bernyanyi do-re-mi sambil belajar berdansa, patahpatah memegang tangan renta kakeknya, Zalaiva menyela, “Kakek, apakah cinta itu menyenangkan seperti musik?”

“Ya. Ia seperti musik, tetapi cinta sejati akan membuatmu selalu tetap menari meskipun musiknya telah lama berhenti.”

“Kalau begitu, Zalaiva ingin cinta!”

Kakeknya tersenyum meringis sambil memijatmijat pinggangnya. Gadis mungilnya tidak tahu, berputar-putar menari seperti ini membuat encoknya kumat lagi.

Ketika Zalaiva duduk menggigil malam-malam ketakutan, badai mengamuk di luar sana. Angin menderak-derakkan jendela, kilat dan guntur susul menyusul memekakkan. Zalaiva yang baru terbangun dari mimpi buruk hantu-hantu, mendongak ke arah kakek yang sedang memeluknya, “Kakek, apakah cinta itu menakutkan seperti hantu?”
“Ya, cinta sejati seperti hantu. Semua orang membicarakannya, tetapi sedikit sekali yang benarbenar pernah melihatnya.”
Zalaiva mengernyitkan dahinya. Mengkerut takut dalam pelukan kakeknya, “Kalau begitu, Zalaiva tidak ingin cinta lagi!”
Kakeknya tersenyum merasa bersalah. Malam ini ia terlalu lelah, dari tadi ingin rasanya segera tidur, tetapi gadis kecilnya yang sedang ketakutan sepertinya tak akan beranjak menutup matanya. Mungkin dengan begini gadis kecilnya bisa segera terlelap.

Ketika paginya mereka berdua berendam dalam sejuknya air sungai di belakang peternakan. Zalaiva yang senang sekali memukul-mukul air ke arah kakeknya, di antara percikan air yang bening, tiba-tiba menyela, “Kakek apakah cinta sesejuk air sungai ini?”
“Ya. Cinta sejati memang seperti air sungai, sejuk menyenangkan dan terus mengalir. Mengalir terus ke hilir tidak pernah berhenti, semakin lama semakin besar, karena semakin lama semakin banyak anak sungai yang bertemu. Begitu juga cinta, semakin lama mengalir semakin besar batang perasaannya”
“Kalau begitu ujung sungai ini pasti ujung cinta itu?”
“Cinta sejati adalah perjalanan, sayang. Cinta sejati tak pernah memiliki tujuan”
“Kakek, apakah cinta itu memberi, seperti yang selalu Kakek lakukan saat memberi makan ayamayam?”
“Tidak. Karena kau selalu bisa memberi tanpa sedikit pun memiliki perasaan cinta, tetapi kau takkan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi.”
“Kakek, dari kota manakah cinta datang?”
“Tidak ada yang tahu, sayang. Cinta sejati datang begitu saja, tanpa satu alasan pun yang jelas!”
“Kalau begitu bagaimana Zalaiva tahu itu cinta?”
“Kau akan tahu ketika ia datang. Tahu begitu saja. Dulu orang-orang menyebutnya cinta pada pandangan pertama. Cinta sejati selalu datang pada pandangan pertama. Cinta sejati selalu datang pada saat yang tepat, waktu yang tepat, dan tempat yang tepat. Ia tidak pernah tersesat. Cinta sejati selalu datang pada orang-orang yang berharap berjumpa padanya dan tak pernah berputus asa.

“Kelak saat kau dewasa, kau akan melihat banyak sekali orang-orang yang begitu saja jatuh cinta. Bagi mereka cinta seperti memungut bebatuan di pinggir kali. Banyak betebaran. Bosan bisa dilemparkan jauh-jauh. Kurang, tinggal masukkan batu yang lain ke dalam kantong lainnya. Apakah perangai seperti itu disebut cinta? Tentu saja bagi mereka juga cinta. Tetapi ingatlah selalu Zalaiva-ku, cinta sejati tak sesederhana bebatuan.

“Suatu saat jika kau beruntung menemukan cinta sejatimu. Ketika kalian saling bertatap untuk pertama
kalinya, waktu akan berhenti. Seluruh semesta alam takzim menyampaikan salam. Ada cahaya keindahan yang menyemburat menggetarkan jantung. Hanya orang-orang beruntung yang bisa melihat cahaya itu, apalagi berkesempatan bisa merasakannya.”

“Apakah kakek pernah bertemu dengan cinta?”

Kakeknya tertawa pelan sambil mengelus rambut panjang hitam legam gadis kecilnya. Zalaiva tersenyum, ia sudah terbiasa dengan jawaban tawa pelan seperti itu.

“Apakah cinta memerlukan mata untuk memandang?”

“Tentu tidak, sayang!”

Kakek itu mencium khidmat ujung-ujung jari mungil Zalaiva. Zalaiva tersenyum, ia juga sudah terbiasa dengan jawaban cium ujung-ujung jari seperti itu.

***

Gadis berambut panjang hitam legam itu berdansa anggun sekali di tengah-tengah aula. Gaun merah yang membungkus ketat tubuh indahnya membuat ia terlihat mencolok di antara puluhan pasangan lainnya. Kakikakinya bergerak dengan irama teratur, posisi badannya sempurna sudah. Dan ketika musik terhenti, para hadirin beramai-ramai tak kuasa menahan diri untuk tidak bertepuk tangan.

Dengan anggun gadis itu membungkuk membalas, lantas dibimbing pelahan oleh sang tuan rumah menuju kursi di sudut ruangan. Pesta akan dipotong sebentar dengan sambutan dan jamuan. Tidak. Tidak ada bercak lumpur di bagian bawah gaun pestanya, apalagi dua carik coreng tahi ayam di pipi montoknya. Zalaiva sungguh sudah berubah mempesona. Gadis berbilang dua puluh tahun. Matang dan dewasa.

Ia tumbuh menjadi pedansa terkenal. Dari satu kastil ke kastil lain. Dari satu pesta ke pesta lain. Berpendidikan dan terhormat berkat bimbingan kakeknya. Pengharapan kakeknya sedikit banyak sejauh
ini sudah terwujud: Zalaiva mengecap manisnya hidup, yang tak pernah dikecap oleh kedua orang tuanya, tak pernah dikecap oleh anggota keluarga lainnya, dan juga oleh kakeknya sendiri.

Seorang pelayan berseragam datang mendekati Zalaiva, membungkuk menawarkan segelas anggur. Zalaiva tersenyum mengulurkan tangan menerimanya dengan sopan. Tetapi sayang sekali, belum sampai bibirnya menyentuh gelas kristal itu, seorang pemuda yang entah datangnya dari mana, terburu-buru lewat di hadapannya, menyenggol tidak sengaja tangan mungil Zalaiva. Gadis itu berseru kaget. Gelas anggur di genggaman tangannya terlepas. Pecah berantakan membasahi karpet, juga gaun merahnya.

Pemuda terburu-buru itu jangankan meminta maaf, malah buru-buru pergi menghindar dari tatapan ingin tahu banyak orang. Tinggallah Zalaiva tertegun, memerah mukanya tak tahu berbuat apa. Tangannya menjulur ke bawah hendak meraba-raba memungut beling gelas, ketika tiba-tiba tangan seorang pemuda lain lebih dahulu menyentuh ujung jarinya dengan lembut.

“Jangan dipikirkan, hanya sebuah gelas!”

Suara itu datang bagai angin sorga. Menyergap rasa malu dan kecemasan Zalaiva, lantas melemparkannya jauh-jauh ke masa-masa menyenangkan dulu. Zalaiva mendongak mencari tahu muasal suara.
“Tahukah kau, jika kau melemparkan sebuah gelas dari atas awan, saat jatuh menimpa tanah sedikit pun gelas itu takkan retak sepanjang kau punya sesuatu!”
Zalaiva di tengah keterpanaannya menggangguk begitu lemah. Ia bisa merasakan hembusan nafas pemuda itu di wajahnya yang semakin merah.
“Tahukah kau apakah sesuatu itu”
Zalaiva tidak tahu apakah ia mengangguk atau tidak saat itu. Yang ia tahu secara pasti tiba-tiba jantungnya seperti terseret ke dalam putaran perasaan yang sungguh tidak ia mengerti. Ketika pemuda itu dengan khidmat mencium ujung-ujung jarinya. Ia merasa seluruh semesta alam, tiba-tiba ikut takzim memberikan salam. Waktu berhenti. Semburat cahaya yang menggetarkan muncul menyeruak dari tubuhnya.
Zalaiva tiba-tiba merasa berdiri di atas padang rumput maha luas, semua orang tersaput hilang, semua benda tersingkir jauh-jauh kecuali sebatang pohon mahoni dengan kicau burung-burung dan sebuah rumah mungil beratap rumbia berdinding papan berwarna putih. Ia dan pemuda itu berdiri saling menatap dan saling berpegangan tangan, dari jauh terdengar suara gemerincing air sungai.

Lama sekali Zalaiva mempercayai kata-kata kakeknya dulu. Setiap pagi, saat ia menyiram kembang setaman di bawah jendela kamarnya, Zalaiva menatap langit biru dan berbisik pelan pada semilir angin: ia rindu berjumpa cinta sejatinya dan tak akan pernah berputus asa. Dan hari ini, setelah sekian lama, kesabaran itu akhirnya berbuah. Tuhan mengirimkannya. Ia datang begitu saja, tanpa satu alasan pun yang jelas.

“Apakah kau sakit? Mukamu pucat sekali?”

Pemuda itu membantu Zalaiva duduk kembali di atas sofa. Melambaikan tangan memanggil pelayan agar membersihkan beling tajam di atas karpet. Menarik sapu tangan putih dari lipatan jasnya. Berusaha membantu membersihkan gaun merah Zalaiva.
“Ah, biar. Biar kubersihkan sendiri.”
“Tidak nona. Biarkan aku menghinakan diri dengan membersihkan gaun indahmu.”
Zalaiva terkesima lagi. Jantungnya berdetak tak karuan saat merasakan tangan pemuda itu menyentuh gaun pestanya. Tubuhnya gemetar. “Aku akan memulai perjalanan panjang itu,” desah Zalaiva dalam diam.

***

Nasib!
Aku harus menyalahkan siapa, jika perjalanan mendebarkan itu ternyata tidak terlalu panjang. Panjang aliran sungai itu ternyata hanya sepelemparan batu. Kemudian kandas dihadang dam raksasa. Benar-benar sepelemparan batu, karena malam itu juga semuanya berakhir.

Malam itu, setelah keributan kecil itu berhasil diselesaikan dengan baik. Pemuda itu menawarkan diri menemani Zalaiva berdansa bersama untuk putaran kedua. Andaikata bisa kulukiskan dansa mereka berdua, maka lukisan itu cukup untuk membuatmu tenggelam dalam keagungan perasaan cinta hanya dengan menatap cahaya muka Zalaiva.

Saat Zalaiva malu-malu berpamitan pulang, pemuda itu membantunya menaiki kereta kuda. Saat kereta kuda itu membelah dinginnya malam musim salju, sais kereta, satu-satunya bekas pembantu kakeknya yang masih tersisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang pemuda itu. Jawaban dengan suara tertahan, layaknya seseorang yang sedang kedinginan mengendalikan laju kereta.

Tetapi bagi Zalaiva, suara tertahan itu seperti berubah menjadi sembilu yang tanpa ampun mengirisiris jantungnya. Ia tidak peduli dengan seberapa tampan dan seberapa kuasanya pemuda itu, fakta singkat yang tiba-tiba membuatnya menggigil adalah saat sais kereta mengatakan: pemuda itu minggu depan akan menikah.

Tak penting dengan siapa. Tak penting siapa wanita itu. Tak penting semua itu. Zalaiva merasa amat merana. Bohong. Kakeknya berbohong. Cinta tidak seperti air sungai, sejuk dan menyenangkan. Baginya sekarang cinta lebih seperti moncong meriam. Sesaat lalu melontarkannya tingi-tinggi sekali hingga ke atas awan, tetapi sekejap kemudian menghujamkannya dalamdalam ke perut bumi.

Terhempaskan.

Tidak. Cinta tidak memberikannya sepasang sayap indah. Ia bukan hanya tidak bisa terbang sekarang,
untuk bergerak sedikit pun terasa menyakitkan sekali.

Zalaiva menangis dalam diam.

Cinta tidak membuat ia merasa memiliki dunia ini, ia justeru merasa kehadirannya di dunia sia-sia belaka. Cinta memang lebih mirip hantu, semua orang membicarakannya, tetapi sedikit sekali yang benarbenar pernah melihatnya. Dan ketika kau berhasil melihatnya kau lari sungguh ketakutan.

Kakeknya jelas lupa mengajarkannya soal akhir sebuah percintaan. Cinta sejati tidak selalu seperti musik yang membuatmu tetap menari meskipun sudah lama berhenti. Ia sekarang justeru mengharapkan musik itu tidak sedetik pun pernah dimainkan.

Zalaiva merintih dalam sunyi.

Kakeknya hanya benar satu hal. Hanya satu hal. Kalian sama sekali tidak memerlukan mata untuk memandang cinta sejatimu. Tidak memerlukan kelopak mata untuk mengenalinya. Ia selalu datang, tak pernah tersesat.

Zalaiva sekali lagi dalam diam menyeka kedua matanya. Mata yang sama sekali tak terdapat bintik hitam di bolanya.

Zalaiva buta.

***

-Mimpi-Mimpi Si Patah Hati: Pandangan Pertama Zalaiva, oleh Darwis Tere Liye-

***

Tuesday 12 July 2011

Jejak

Angin makin kencang
Terpaan yang membuat mata seakan meleleh
Larut terbawa keharuan
udara
Dan semua

Tiada yang lebih menyejukkan
selain belaian masa kecil
Akar-akar idealis kita
Keyakinan

Kembali ke sana sebagai makhluk transparan
Segala ketahui oleh citra
Tanpa pandangan
Hanya detakan
Tersenyum

Tetap seperti engkau yang dulu
Dalam rahim ketulusan
Dalam syahadat yang dibisikkan
Dalam cinta pertama yang dikenal

---puisi yang saya tulis 1 Januari 2009 ini, hingga kini saya rasa adalah yang terbaik yang pernah saya buat, yang paling 'calm'. tentang masa kecil yang suci, dan doa semoga kelak kita akan kembali menjadi suci. "Jejak" ini pernah saya ikutkan lomba yang bertema tentang perjalanan kehidupan pada tahun 2010. Ya, karena temanya cocok saya ikutkan saja, tapi sayang ternyata tidak menang. sedih juga, puisi terbaikku kalah! tapi kemudian puisi ini terpilih untuk diterbitkan dalam buku antologi puisi "Kepingan Kehidupan" yang terbit baru-baru ini. ya, dengan itu semoga jejakku ini dapat menginspirasi lebih banyak orang. oh ya, kalau ada yang mau bukunya bisa hubungi saya ^^---

Tuesday 10 May 2011

dari jendela kecilku

Aku melihat padang rumput yang luas, berbukit-bukit. Aku, seorang anak kecil yang berlari riang di sana. Diterpa sinar matahari dan hangatnya, dibuai angin yang lembut teramat, yang mendekap mesra dan tak mendinginkan.

Aku suka musim panas, aku suka hangatnya, disengat mataharinya. Memejamkan mata, meresapi cahaya menerpa wajahku. Hangat, panas, menyenangkan sekali. Dan terus berlari-lari tanpa batas. Merasakan hangat, panas tubuhku, gelora kanak-kanakku yang meledak! Benar-benar meledak! Buncah seluruh ragaku. Menyenangkan sekali. Menyenangkan se-ka-li!

Dan terus berlari. Berlari! Berlari-lari terus hingga ujung matahari..

-Rasailah kawan, matahari ini, cahaya ini, panas ini. Karena kelak ketika Ia menghilang, tak akan ada lagi senyum yang menyala di dunia.-

Tuesday 29 March 2011

life like a tale

aku sedang berkhayal tentang masa depan, sebelum kau menepuk bahuku dari belakang. membuyarkan imajinasi yang kurangkai.

dengan ringan kau lukiskan imajinasi yang lebih menakjubkan.

ku akui, kau memang pendongeng yang hebat. penyihir kehidupan yang membuai dengan mimpi-mimpi indah. dan membuat terpana meski di alam khayal.

terkadang aku bahkan tak dapat mengenali, apakah ini alam nyata, atau khayal?
aku sering sulit untuk memahami, apakah aku sedang bermimpi, atau terjaga.
bahkan aku sering mengira mimpi-mimpi itu kenyataan.

aku iri padamu. sungguh iri.

kau juga mengajarkan bahwa terkadang kita harus bersikap keras kepala. untuk hal yang bahkan tak ber-logika.
aku tak mengerti itu. bahkan ketika kucari di dalam kefana-an.
kau bilang khayalan adalah awal pertemuan. pertemuan yang manis.
tapi tampaknya takdir lebih berkuasa. untuk menunggu sampai pada kenyataan bahwa pertemuanmu adalah perpisahan denganmu.

karena khayalan kita berbeda.

I would love the rest of this time, with my way. So, please keep your dream until that time, I'll be here for you.

Thursday 3 February 2011

kisah kupu-kupu dan sebatang pohon

Aku pernah melihat sekawanan kupu-kupu. Riang mereka bermain-main di sebuah pohon. Tampak senang dan mesra, berputar-putar, saling kejar. Tersenyum aku memandangnya, serasa turut merasakan jua keceriaan mereka.

Tapi, siang tadi kulihat pohon itu tumbang. Dan kawanan kupu-kupu itu tak kulihat lagi adanya. Kemana mereka? Aku hanya bertanya dalam hati dan mengira-ngira. Mungkin mereka telah menemukan pohon yang lain. Sebagai taman baru tempat bermain menghabiskan hari. Dengan keriangan, canda, dan tawa tanpa perlu merisaukan pohon lama yang telah tumbang.

Ah, aku menjadi sedih. Mungkin tak akan kulihat lagi kawanan kupu-kupu di pohon itu. Meski pohon yang tinggal separuh itu masih bertahan hidup. Tak terlihat lagi kemesraannya bersama makhluk Tuhan yang indah itu. Tinggal pohon itu saja, yang tua dan sepi. Yang masih terus kutengok setiap pagi. Berharap kawanan kupu-kupu datang kembali.

Makin sedih, penantian hari demi hari yang kosong. Pohon itu tetap sendiri. Sunyi, bersama detik waktu yang bergeser berat. Makin tragis daunnya, dimakani ulat-ulat. Sampai tak tahan aku dan tak ku tengok lagi.

...

Hingga suatu pagi, kupu-kupu itu kembali! Ah, tidak. Itu adalah ulat-ulat nakal yang telah bermetamorfosis sempurna! Aku menemukan sisa kepompongnya di bawah pohon itu. Sungguh senang! Kemesraan yang dulu hilang, kini kembali lagi. Tak ada lagi tatapan kosong. Kini mataku berwana pelangi. Memandangi kupu-kupu beraneka rupa warnanya. Berkejar-kejar, bersenandung, bercakap dengan bahasa mereka. Aku tak mengerti memang. Tapi kurasakan cerianya.


-dalam taman penuh warna, lihatlah bunga beribu memesona-
-petiklah lagu pada satu irama, bersenandung nyanyian penuh mesra-

Sunday 9 January 2011

Jendela Kecil

Selamat pagi! Selamat membuka jendela kecil kita masing-masing! Selamat memandangi pemandangan yang baru di luar sana. Selamat menikmati keindahannya. Keindahan yang belum kita rasakan atau pikirkan kemarin. Keindahan yang ingin kita hadirkan dalam mimpi kita malam ini.
Dan inilah jendela kecilku, tempatku memandang keindahan dunia di luar sana. Tempatku melihat apa yang kurasa, apa yang kupikirkan, dan apa saja. Dan jika tidak berkeberatan, saya ingin berbagi jendela kecil ini kepada kalian. Jendela kecil ini teramat sempit, tetapi semoga kita dapat melihat pemandangan yang lebih luas di dalamnya.
Selamat Pagi! Selamat menikmati pemandangan dari jendela kecil kita.