Thursday 17 November 2016

C-Krankenhaus

Terkadang media sosial berubah menjadi sebuah rumah sakit. Penuh dengan pasien dengan gangguan delusional. Pada beberapa kasus juga bersifat impulsif. Ada yang berperan sebagai dokter dalam delusinya. Bergaya seolah memeriksa dan mendiagnosa. Menawarkan obat yang terlihat mujarab. Memberi injeksi yang membuat terbang melayang. Tertawa.

Tidak semua orang yang berada di sini adalah pasien. Terkadang ada juga seseorang yang berkunjung untuk mencari hiburan. Sebut saja Ray, ia datang hanya untuk tertawa. Menikmati setiap pertunjukan yang ada.

Sekali waktu aku pernah bertanya padanya, apakah dia tidak berempati kepada mereka? Dia menjawab: “Apa kau tahu sudah berapa lama aku mengunjungi tempat ini? Itu cukup lama untukku kehilangan empati. Awalnya aku prihatin, terkadang aku marah, lihatlah betapa menyedihkannya mereka. Tetapi mereka sendiri yang memilihnya. Hidup dalam delusi. Merasa lebih senang hidup dalamnya. Dan aku tidak mau merugi hanya demi bersedih atas mereka. Anggap saja ini acara drama, komedi. Lawakan yang sungguh berbahaya!”

Begitulah Ray, ia terlihat seperti menyerah dengan empati. Tetapi aku tahu persis apa yang dia lakukan, dia masih berbelas kasih. Semua orang di sini adalah pasien, kecuali aku dan Ray. Tentu ini cukup memberi penjelasan akan siapa Ray. Lantas siapa aku? Ray juga pernah menanyakan hal itu kepadaku. Siapa aku? Aku hanya seorang pemerhati kesehatan. Aku mengangkat tanganku, menggerakkan jari telunjukku, mengetuk-ngetukkan ujungnya di sisi sebelah kanan keningku.

-----------------------
Cerita ini hanya fiktif belaka, lho!

Saturday 8 October 2016

Profesi Terpenting di Dunia

Dewasa ini kita perlu menempuh pendidikan sekolah dasar selama 6 tahun, ditambah sekolah menengah pertama (SMP) selama 3 tahun dan masih ada 3 tahun lanjutan lagi di sekolah menengah atas (SMA). Dua belas tahun mengenyam pendiikan tidak lantas membuat kita mendapatkan pekerjaan yang “enak”. Lulusan SMA tentu hanya akan menempati posisi bawah dalam piramida lapangan kerja. Untuk mendapat pekerjaan yang lebih “enak” dengan gaji yang lebih tinggi tentunya kita perlu memiliki kemampuan tertentu. Dan di universitas kita memiliki kesempatan untuk mempelajari kemampuan yang spesifik sesuai dengan minat kita.

Di universitas, pendidikan dokter merupakan salah satu yang favorit. Perlu waktu setidaknya 4 tahun untuk menjadi sarjana kedokteran. Belum lagi pendidikan lanjutan untuk menjadi profesi dokter. Begitu juga untuk menjadi akuntan, insinyur, pengacara, guru, dan sebagainya diperlukan waktu yang tak kalah panjangnya. Namun 12 tahun pendidikan sekolah dasar dan menengah ditambah 4 tahun pendidikan di universitas ditambah lagi pendidikan profesi apakah sudah cukup menjadikan profesi kita sebagai profesi yang terpenting?

Generasi muda kita kian berlomba-lomba meraih pendidikan tinggi. Dan apalagi tujuannya selain untuk memperoleh pekerjaan yang “enak” atau yang bergengsi, berpenghasilan lebih tinggi. Tentu kita tidak menafikkan ada sebagian yang memiliki motif berbeda. Fokus kita adalah pada mainstream pendidikan masa kini. Tak berhenti sampai pada sarjana atau pendidikan profesi, generasi muda berlomba-lomba meraih gelar Magister bahkan Doktor. Ini adalah sebuah semangat belajar yang patut kita apresiasi. Merekapun kemudian menempati posisi-posisi penting baik di sektor publik maupun swasta. Menjadi ahli-ahli di bidangnya. Apakah setelah mencapai pendidikan tertinggi dan mencapai posisi terpenting dalam bidangnya lantas dapat disebut profesi itu sebagai profesi terpenting?

Tokoh pendidikan Inggris era Victoria, Charlotte Mason menyebut orang tua sebagai profesi paling penting di dunia. Ya orang tua. Kita bisa bersekolah untuk mencapai gelar Doktor atau Profesor sekalipun, dengan nilai terbaik. Tetapi tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua. Padahal hampir setiap orang akan menjadi orang tua. Dan profesionalitas sebagai orang tua tentu akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan generasi selanjutnya. Kita sibuk belajar meraih gelar akademis, meraih posisi puncak dalam karier, tetapi kita seringkali lupa belajar untuk menjadi orang tua. Kita bahkan baru belajar menjadi orang tua ketika kita telah menjadi orang tua.

Di dalam buku “The Checklist Manifesto”, Atul Gawande, seorang dokter dan penulis, membagi permasalahan dunia ke dalam tiga kategori: sederhana (simple), rumit (complicated), dan kompleks (complex). Menanak nasi dan mencuci baju termasuk masalah sederhana. Menerbangkan roket dan membangun gedung bertingkat 100 termasuk masalah rumit karena memerlukan berbagai jenis ilmu, keahlian, dan pendekatan khusus. Sementara mendidik anak termasuk permasalahan kompleks. Setiap anak adalah spesial. Setiap anak anak terlahir berbeda dan perlu perlakuan yang berbeda pula. Kesiapan kita sebagai orang tua dalam memelajari dunia anak, dunia keayah-bundaan, akan banyak membantu dalam memahami mereka, anak-anak kita dengan segala potensi terpendamnya. Jangan sampai kita menjalani profesi sebagai orang tua hanya karena kebetulan kita punya anak. Lebih dari itu, kita harus menyiapkan yang terbaik, segala ilmu yang perlu bagi tumbuh kembang anak, meskipun itu meliputi poleksusbudhankam sekalipun. Hehe.. terdengar bercanda tapi ini serius karena dalam mendidik anak memang perlu lintas disiplin ilmu. Dan tentu, tanamkan akidah yang lurus, agar ia tak tersesat nantinya. Karena, eh karena.. dewasa ini banyak sekali anak-anak yang pintar tetapi tumbuh sebagai penjahat. Jadi, bekal apa yang telah anda persiapkan untuk anak-anak anda? seberapa orang tua-kah anda?

Tuesday 26 January 2016

gadis cantik berkacamata


aku melangkah di jalanan dingin
sendiri, berkabut sepi di pagi ungu
***
aku berjalan
terus melangkah di ufuk  jauh
melampaui yojana tempat kau bersimpuh
tetapi bayangmu masih saja menyentuh
jiwaku yang tak lagi utuh

di jalan-jalan sepi yang dirintiki hujan
masih ku dengar nadamu menyanyi syahdu
dihiasi warna muka bunga dan pepohonan yang sendu

bukankah tlah kulepas kau di balik horison?
sedang di dalam hatiku tlah kau lepaskan sauh
menancap di sini, di nyawa yang tinggal separuh
***
duhai gadis cantik berkacamata
kau terjatuh di pangkuan..
di bawah terang cahaya rembulan
di dalam mata yang berkaca-kaca

Thursday 21 January 2016

jangan menunggu

jangan kau tunggu
seseorang itu yang belum kau tahu
meski di pagi saat mata terbuka
atau di sore saat lelah bekerja
bayangan itu hadir dan bertanya
"sedang apa?"

jangan kau nanti
wajahnya yang tak pasti
meski saat terlelap di malam hari
seolah terbayang ia dalam mimpi

jangan menunggu
ia mungkin terjatuh di tempat yang dulu
masih mengaduh dan rapuh
sendirian menyeka eluh dan peluh

jangan berharap segera
karena mungkin masih terlalu lama
sampai nampak batang hidungnya
untuk temui ayah dan bunda

jangan menunggu
sekali lagi jangan kau tunggu
bila lelah menjadi pilu
bila tak sanggup menanggung rindu