Thursday 17 November 2016

C-Krankenhaus

Terkadang media sosial berubah menjadi sebuah rumah sakit. Penuh dengan pasien dengan gangguan delusional. Pada beberapa kasus juga bersifat impulsif. Ada yang berperan sebagai dokter dalam delusinya. Bergaya seolah memeriksa dan mendiagnosa. Menawarkan obat yang terlihat mujarab. Memberi injeksi yang membuat terbang melayang. Tertawa.

Tidak semua orang yang berada di sini adalah pasien. Terkadang ada juga seseorang yang berkunjung untuk mencari hiburan. Sebut saja Ray, ia datang hanya untuk tertawa. Menikmati setiap pertunjukan yang ada.

Sekali waktu aku pernah bertanya padanya, apakah dia tidak berempati kepada mereka? Dia menjawab: “Apa kau tahu sudah berapa lama aku mengunjungi tempat ini? Itu cukup lama untukku kehilangan empati. Awalnya aku prihatin, terkadang aku marah, lihatlah betapa menyedihkannya mereka. Tetapi mereka sendiri yang memilihnya. Hidup dalam delusi. Merasa lebih senang hidup dalamnya. Dan aku tidak mau merugi hanya demi bersedih atas mereka. Anggap saja ini acara drama, komedi. Lawakan yang sungguh berbahaya!”

Begitulah Ray, ia terlihat seperti menyerah dengan empati. Tetapi aku tahu persis apa yang dia lakukan, dia masih berbelas kasih. Semua orang di sini adalah pasien, kecuali aku dan Ray. Tentu ini cukup memberi penjelasan akan siapa Ray. Lantas siapa aku? Ray juga pernah menanyakan hal itu kepadaku. Siapa aku? Aku hanya seorang pemerhati kesehatan. Aku mengangkat tanganku, menggerakkan jari telunjukku, mengetuk-ngetukkan ujungnya di sisi sebelah kanan keningku.

-----------------------
Cerita ini hanya fiktif belaka, lho!

0 comments:

Post a Comment